Ibnu Syihab Az Zuhri
Seorang yatim, miskin tak spesial
mua tak apa, walaupun terlihat sial
Karena kuatnya tekad dan kegigihan yang jadi modal
Hingga namanya harum di langit dan bumi dikenal
Muslim namanya, Abu Bakar jadi kunyah panggilan
Seorang Quraisy, penerus kemuliaan Aminah, Sa’ad dan Abdurrahman
Az Zuhri dijadikan satu satunya laqob penisbatan
Wafat tahun 124 Hijriyah, lahir tahun limapuluhan
Terlahir menjadi seorang Tabi’in kecil
Tapi itu tak menjadi alasan untuk bersikap kerdil
Ia berjuang, buktikan mampu bersaing
Cita teruskan mimpi sang ayah jadi penyemangat dan iming
Dengan tekad baja, ia berusaha berbeda
Selangkah lebih maju dari pada semua
Menghiraukan semua caci, hasad dan hina
Tetap istiqamah mengambil setiap detik yang ada
Semua ulama disambangi sebelum waktu membuyar
Ilmu diserap, adab kemuliaan mengakar
Menulis semua ilmu yang terpancar
Tak sombong dengan kuatnya hafalan sekali dengar
Pun buku dan pena tak pernah lepas setiap detik
Mulut komat kamit mengulang ilmu yang terpetik
Kini, biarlah waktu menyingkap ragu dalam bisik
Jadikan para pecundang diam terpana tak berkutik
Cukup menjadi bukti mandat kepercayaan
Dari sang khalifah agar hadist dikumpul dan bukukan
Pancaran ilmu tercermin dari Malik, Laits dan dua Sufyan
Menjadi peribahasa dalam kuatnya hafalan
Hingga dirinya menjadi akhir dari semua periwayatan
Namanya kekal menjadi sang penjaga sunnan
------------------------------------------------------------------
Namaku Muhammad bin Muslim lahir pada tahun 51 Hijriyah. Aku tidak seberuntung para seniorku dari kalangan sahabat Nabi yang bisa bertatap temu dengan baginda Rasulullah, akan tetapi aku tetap bersyukur karena aku masih tergolong ke dalam generasi tabi’in junior yang masih sempat bertemu dengan 10 sahabat Nabi dan mengambil percikan cahaya nabawi dari mereka, semisal Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Sahl bin Sa’ad, Jabir bin Abdillah, dll. Akan tetapi keilmuanku sangat didominasi oleh para tabi’in senior seperti Sa’id bin Musayyib yang mengambil ilmu dari Abu Hurairah sekaligus menjadi menantunya, Urwah bin Az Zubair keponakan sayyidah Aisyah dan Ubaidillah bin Abidillah, Abdullah bin Tsa’labah serta para ulama senior lainnya dari para tabi’in.
Aku terlahir dari keluarga miskin. Sudah sejak kecil aku hidup tanpa seorang Ayah. Akan tetapi ibuku selalu menceritakan kebaikan dan betapa luarbiasanya ayahku. Dia seorang penuntut ilmu, meriwayatkan banyak hadist dan juga seorang mujahid yang berjuang bersama sahabat Abdullah bin Az Zubair mempertahankan kehilafahannya melawan Hajjaj. Walaupun aku belum pernah melihat sosok heroiknya akan tetapi jiwa penuntut ilmu dan baja kesatriaannya mengalir deras dalam darahku ini, aku sangat meyakini itu, sehingga perjalanan menuntut ilmu dan berjihad inilah menjadi jalan hidup yang ku pilih.
Ulama hadist, menurutku adalah golongan ulama terhebat, yang paling banyak perjuangan dan pengorbanannya, serta yang paling penting adalah ayahku dulu adalah salah satunya. Sehingga menjadi ahli hadist adalah cita cita terbesarku. Untuk menjadi ulama hadist hal pertama yang harus aku pelajari adalah ilmu nasab, karena dengannya aku menjadi tahu seluk beluk dan asal muasal setiap perawi hadist. Maka, aku putuskan untuk mengambil ilmu nasab kepada seorang ulama kesohor dalam bidang itu, Abdullah bin Tsa’labah. Bersamaan dengannya aku juga mengambil ilmu fikih dan hadist dari seorang penghulu para tab’iin, Said bin Musayyib. Beliau terbilang ulama tabi’in number one dan telah mewarisi keilmuan Abu Hurairah, mertuanya sendiri. Begitu pun aku mendatangi majelis Urwah bin Az Zubair, Ubaidillah bin Abdillah dan seluruh ulama ulama yang telah mengumpulkan ilmu para sahabat Nabi.
Cita cita yang tinggi, melimpahnya para ulama di Madinah dan darah segar pemuda yang bergejolak menjadikan Himmahku dalam menuntut ilmu membuncah dan tak tertahankan, hal itulah yang membuatku ingin mengikat setiap ilmu yang aku ambil dengan tulisan. Padahal pada masa itu tulis menulis belum menjadi trend dan masih menjadi suatu yang tabu, akan tetapi aku masih merasa tidak cukup dengan sekedar mengandalkan kuatnya hafalan. Orang orang melihatku merasa aneh, “Hey Ibnu Syihab, ngapain sih kamu? kemana mana bawa buku dan alat tulis, orang tuh kalo menulis itu menunjukan kelemahannya dalam hafalan” begitulah kata teman teman seperjuangannya. Akan tetapi aku tetap istiqomah menghafal, menulis dan mengulang ulang hafalannya, karena keyakinanku telah bulat bahwa sekedar mengandalkan akal dalam menghafal bukan segalanya, itu sangat terpaut dengan umur dan sewaktu waktu bisa hilang.
Hidupku selalu dihiasi dengan keilmuan, pergi dari ulama ini ke ulama itu, mengulang hafalan ini dan itu serta menuliskan semua yang aku dapatkan. Akan tetapi, entah mengapa aku merasa aneh kepada para sahabatku, mereka mencukupkan diri hanya sekedar mengambil fikih, halal dan haram ketika berguru dengan salah seorang masayikh. Sedangkan diriku ini merasa bahwa begitu banyak ilmu yang tercurah dalam majelis para masayikh, sehingga seluruhnya aku ambil dan aku tulis. Begitupun yang menjadi fokusku bukan hanya hadist Nabi, tapi juga perkataan para sahabat dan perkataan para ulama tabi’in (atsar) karena menurutku untuk bisa memahami keilmuan secara utuh harus benar benar mengambil dari semua sisi dan sudut pandang orang orang besar yang paham akan agama. Alhamdulillah aku mampu melakukan semua itu. Pastinya tak terlepas dari karunia Allah berupa kuatnya hafalan, encernya pemahaman, niat yang kuat untuk terus belajar dan belajar.
Juga perjuanganku untuk berusaha semaksimal mungkin bisa mengambil ilmu dari ulama yang singgah atau hidup di Madinah. Menurutku salah satu kerugian terberat seorang penuntut ilmu adalah dengan menyia-nyiakan seorang ‘Alim sehingga ia pergi dengan ilmunya tanpa kita ambil.
Dikatakan aneh, gila bahkan perasangka perasangka lain sering ditujukan padaku. Pernah suatu ketika aku dikatakan sinting karena sering berbicara sendiri, berbicara dengan tembok, membangunkan pembantuku hanya untuk menyetorkan hafalan dan merenung sendirian. Itu semua aku lakukan untuk menjaga hafalan dan menguatkan pemahaman, walaupun dianggap aneh, tak mengapa. Berani berbeda dalam kebaikan dan tidak mempedulikan perkataan orang lain yang menjatuhkan adalah prinsip hidupku.
Semua itu hanya masalah waktu, hingga semua akan tersingkap dan terlihat. Siapakah sang pemenang dan siapakah sang pecundang. Bukan hari ini, tapi nanti setelah semua penat, perjuangan dan kemati matian yang dipersembahkan.
Tibalah hari itu, dimana umur para ulama sudah mulai tua, hafalan melemah, para sahabat dan tabi’in senior telah mangkat. Mereka hilang bersama kemelimpahan ilmu mereka. Semua orang mengalami kerugian, kecuali orang yang selalu mengulang hafalan dan menuliskan apa yang ia dapatkan.
“Temui dan carilah Ibnu Syihab Az Zuhri, karena sungguh aku tidak lagi menemui ulama dengan keilmuan akan sunnah sunnah Nabi yang semisal dengannya” begitu kata Umar bin Abdil Aziz, seorang ulama sekaligus kuat. Umar bin Abdil Aziz sebelum menjadi khalifah, ia adalah seorang ulama dengan keilmuan kuat dan bisa dibilang guru dari para ulama.
Entah darimana ia tahu kuatnya hafalanku, kemauan menuntut ilmu yang dahsyat dan kebiasaanku yang berbeda dari ulama lainnya yang menjadikanku lebih unggul dari yang lain. Hal itu menjadikannya mengamanahkan mandat kepenulisan hadist hadist nabawi kepadaku. Aku adalah orang pertama yang mendapatkan tugas besar ini. Walaupun itu adalah amanah yang sangat besar, akan tetapi aku akan berusaha menanggungnya, pun agar keilmuanku bermanfaat bagi umat. Maka dengan itu aku telah menunaikan dan menjaga cita cita mendiang ayahku dulu, menjadi ulama penyelamat umat.
Komentar
Posting Komentar